Asosiasi Muslim Penyelenggara Umrah dan Haji (Amphuri) membantah tudingan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) terkait kerusuhan di Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah, karena banyaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) yang menyalahgunakan visa umrah.
Menurut Amphuri, tudingan Kemenlu itu tidak tepat. Ketua Amphuri Fuad Hasan Masyhuri mengatakan, tidak semudah itu bagi pengelola umrah membiarkan jamaahnya tidak kembali ke Tanah Air.
“Saya dapat pastikan semua jamaah umrah yang berangkat ke Tanah Suci itu dokumennya lengkap dan semua kembali ke Tanah Air,” ujarnya, Selasa (11/6).
Ia menambahkan, sulit dibayangkan jika warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki visa umrah sengaja memanfaatkan visa tersebut untuk menjadi TKI di Arab Saudi.
Tidak mudah bagi penyelenggara umrah untuk menyalahi izin visa umrah tersebut. Apalagi, saat ini mekanisme pengeluaran visa umrah dari Kerajaan Arab Saudi sangat ketat.
Setiap memberangkatkan jamaah umrah, kata Fuad, Kerajaan Arab Saudi secara langsung mencatat jumlah dan dokumen yang ada.
Jika sudah selesai pun, masih dilakukan pencatatan ulang. “Ada satu saja jamaah umrah yang tidak ikut pulang sesuai jadwalnya, sanksinya sangat berat. Jadi, tidak mungkin ada jamaah umrah nekat jadi TKI,” jelasnya.
Fuad meminta Kemenlu agar membedakan secara detail jamaah umrah dan TKI. Jamaah umrah yang berangkat ke Tanah Suci bertujuan untuk melaksanakan ibadah, bukan mencari nafkah.
Namun, ia mengakui, penyalahgunaan visa umrah bisa saja terjadi, tapi sangat sulit bila melihat aturan visa Saudi yang cukup ketat.
Secara administratif, penerbitan visa umrah hanya dilakukan Kedutaan Arab Saudi. Tidak bisa dari lembaga Pemerintah Indonesia. Kemudian, setelah mendapatkan visa, penyelenggara harus memulangkan sejumlah peserta umrah sesuai jadwalnya.
Kalau kurang satu jamaah pun bisa bermasalah panjang. “Saya tidak mau tuduh. Tapi, dari dulu Amphuri sering protes mengapa biro perjalanan umrah ilegal itu masih terus ada,” ujar Fuad.
Sebelumnya, Juru Bicara Kemenlu Michele Tene menyatakan, kerusuhan di KJRI Jeddah merupakan persoalan yang diawali administrasi dokumen saja. Karena, banyak WNI yang secara prosedural telah habis masa izin tinggalnya (overstay).
Menurut Tene, overstay itu dapat disebabkan oleh dua faktor. Pertama, masuknya WNI sebagai tenaga kerja di Arab Saudi dan melakukan perpindahan kerja tanpa izin.
Secara aturan, hal tersebut masuk dalam kategori pelanggaran. Kedua, tak sedikit dari TKI atau WNI yang overstay itu berasal dari penyalahgunaan visa umrah.
Terbukti, banyak WNI yang secara sengaja masuk ke Arab Saudi menggunakan visa umrah, padahal tujuannya melakukan kegiatan ekonomi atau bekerja. “Seharusnya, setelah umrah itu pulang, bukannya menetap dan bekerja. Di sinilah terjadi persoalan,” kata Tene.
Dia memastikan kegiatan umrah tersebut berhubungan dengan biro perjalanan umrah. Secara teknis, menjadi tanggung jawab biro perjalanan tersebut.
Menurut Amphuri, tudingan Kemenlu itu tidak tepat. Ketua Amphuri Fuad Hasan Masyhuri mengatakan, tidak semudah itu bagi pengelola umrah membiarkan jamaahnya tidak kembali ke Tanah Air.
“Saya dapat pastikan semua jamaah umrah yang berangkat ke Tanah Suci itu dokumennya lengkap dan semua kembali ke Tanah Air,” ujarnya, Selasa (11/6).
Ia menambahkan, sulit dibayangkan jika warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki visa umrah sengaja memanfaatkan visa tersebut untuk menjadi TKI di Arab Saudi.
Tidak mudah bagi penyelenggara umrah untuk menyalahi izin visa umrah tersebut. Apalagi, saat ini mekanisme pengeluaran visa umrah dari Kerajaan Arab Saudi sangat ketat.
Setiap memberangkatkan jamaah umrah, kata Fuad, Kerajaan Arab Saudi secara langsung mencatat jumlah dan dokumen yang ada.
Jika sudah selesai pun, masih dilakukan pencatatan ulang. “Ada satu saja jamaah umrah yang tidak ikut pulang sesuai jadwalnya, sanksinya sangat berat. Jadi, tidak mungkin ada jamaah umrah nekat jadi TKI,” jelasnya.
Fuad meminta Kemenlu agar membedakan secara detail jamaah umrah dan TKI. Jamaah umrah yang berangkat ke Tanah Suci bertujuan untuk melaksanakan ibadah, bukan mencari nafkah.
Namun, ia mengakui, penyalahgunaan visa umrah bisa saja terjadi, tapi sangat sulit bila melihat aturan visa Saudi yang cukup ketat.
Secara administratif, penerbitan visa umrah hanya dilakukan Kedutaan Arab Saudi. Tidak bisa dari lembaga Pemerintah Indonesia. Kemudian, setelah mendapatkan visa, penyelenggara harus memulangkan sejumlah peserta umrah sesuai jadwalnya.
Kalau kurang satu jamaah pun bisa bermasalah panjang. “Saya tidak mau tuduh. Tapi, dari dulu Amphuri sering protes mengapa biro perjalanan umrah ilegal itu masih terus ada,” ujar Fuad.
Sebelumnya, Juru Bicara Kemenlu Michele Tene menyatakan, kerusuhan di KJRI Jeddah merupakan persoalan yang diawali administrasi dokumen saja. Karena, banyak WNI yang secara prosedural telah habis masa izin tinggalnya (overstay).
Menurut Tene, overstay itu dapat disebabkan oleh dua faktor. Pertama, masuknya WNI sebagai tenaga kerja di Arab Saudi dan melakukan perpindahan kerja tanpa izin.
Secara aturan, hal tersebut masuk dalam kategori pelanggaran. Kedua, tak sedikit dari TKI atau WNI yang overstay itu berasal dari penyalahgunaan visa umrah.
Terbukti, banyak WNI yang secara sengaja masuk ke Arab Saudi menggunakan visa umrah, padahal tujuannya melakukan kegiatan ekonomi atau bekerja. “Seharusnya, setelah umrah itu pulang, bukannya menetap dan bekerja. Di sinilah terjadi persoalan,” kata Tene.
Dia memastikan kegiatan umrah tersebut berhubungan dengan biro perjalanan umrah. Secara teknis, menjadi tanggung jawab biro perjalanan tersebut.